Dalam
berpikir episteme pengetahuan tidak hanya mengajarkan kita berpeikira sekedarnya,
atau aladarnya. Episteme mengajarkan kita
untuk menghindari Claim of truth yang
hanya sepihak tanpa membiarkan otak manusia bersetuhan langsung luas dengan horizon tanpa batas.
Farancis Bacon memperigatkan kita, tak
boleh menjadi manusia picik hanya berada didalam gua yang sepi dan zone terseteril
lingkungan, namun harus membuka diri dengan daya nalarnya. Francis mengingatkan
jangan seperti “katak dalam tempurung”, hindari idola sesat yang membuat
pikiran terpuruk, hanya menjadi obyek, tapi tak menjadi obyek yang sekaligus
subyek. The Idols of Cave, demikian
kata Bacon, sebuah idola yang membuat karya pikir manusia tergurus pada pembenaran
diri dengan super ego yang amat kental. Ketika kita menuruti pikiran itu, maka
kemapuan dalam memahami fakta lemah, pemahaman logika acap sesat (fallacy),
lalu analisis kita tumpul, dan pada akhirnya kemampuan evaluasi menjadi runyam.
Inilah solipsistik atau dalam frasa Jawa dikenal dengan “nggungu
karepe dewe” lalu menganggap dirinya paling benar “ nggugu
benere dewe”.
Kita
diharapakan untuk tidak tidah berpangku pada “tentang” yang dalam bahasa Yunani
tertulis “hoti”, namun kita harus selalu menanyakan lebih dalam yakni “mengapa”
atau dalam bahasa Yunani “dihoti”. Itulah harapan episteme untuk berpikir
secara radikal dan holistik.
Bepikir
radikal itu sesungguhnya akan menguliti sebuah masalah sampai akar-akarnya,
tidak sekedar “surface” (permukaan),
gali sedalam dalamnya. Benar kita tidak hanya ‘Quod” yang dalam bahasa latin berarti hanya perkir terbatas pada “tentang”
saja, seharusnya lepas dari keterkungkungan
ke arah “propter quod” yakni pola pikir yang terus menerus mengawal menuju kedalaman.
Holisitik menyeluruh yang sangat diharapkan dalam berpikir kita, tidak atomistik
alia terkotak kecil.
Orang
Jawa dengan pikiran sederhana sering berucap, “jembarna pikiranmu” (luaskan pikiranmu:Jawa), lalu masih diikuti
sikap rendah hati (humble).
Kemudian
untungnya apa dalam epistemologi menyarankan berpikir sedalam-dalamnya? Tentu mengarahkan
kita tidak mudah dan sepat memvonis, dan jauh dari sifat berbicara tanpa fakta, atau menggunjing karena data yang
kering. Di sinilah episte menjadi sebuah metoda pengetahun untuk meneropong
segala permasalahan selalu tidak terburu-buru.
No comments:
Post a Comment