Cari Sesuatu ?

Google

Saturday, June 23, 2018

POSTMO FILATELIA


POSTMO-FILATELIA
Oleh Djoko Adi Walujo
Kreativitas sulit dibendung apaladi dizaman yang penuh dengan derasnya arus teknologi. Teknologi mampu menggerus apa saja, dan mampu mempoleferasi apa saja. Kemajuan teknologi informasi yang secara bersamaan memunculkan media sosial yang dahsyat membuat semua yang nyaman menjadi goyah. Zaman yang sekarang disebut dengan era disruption dengan mudah disebut pula sebagai  era penggoda. Tahta yang sulit dijamah mudah patah, tiada lagi dinasti, semua menjadi rentan terhadap perubahan. Semua relung aktivitas manusia tidak memiliki daya tangkal menghentikan kecuali daya adaptasi yang mampu mengawal eksistensi. Termasukjuga domain hobi, kini hobi menjadi berkembang baik kualita dan kuantitanya. Dulu swap benda-benda filetali penuh dengan aleta yang menutupi, hanya berbekal sebuah ceruta tanpa melihat visual, kini sekarang menjadi terang benderang bahkan real time.
     Exibition fileteli dulu terhitung dengan durasi  tahunan baru dapat terselenggara, bahkan harus menyiapkan properti yang begitu lama, kini setiap detik orang bisa memamerkan karena wahana sudah tersedia dengan percuma. Pameran filateli seakan nir biaya, karena aplikasi komputer mengundangnya. Seorang filetelis bisa pamer diberbagai belahan dunia, tanpa harus datang membawa benda-benda filateli kesayangan. Seorang filatelis bisa berpamer ria dalam waktu yang bersamaan pada domain yang berbeda. Mereka bisa berpamer di media sosial yang menjadi pilihannya, namun juga bisa semua digunakan. Hari ini pamer di dinding Facebooknya, besuk sudah pindah di Instagramnya, dan secara bersamaan berpamer di Piterest.
Lembaga filatelis yang cukup wibawa akan serta merta pudar dan terkubur bersama aturan detil yang dimiliki dan sudah lama bertahta. Aturan filatelis lama lama terlanggar oleh kemajuan teknologi. Dulu dalam exibisi ada aturan ketat bagaikan menyusun sebuha tesis atau desertasi, sekarang berubah menjadi tema-tema yang lebih detil dan sesuai perkembangan zaman. Sensasi kejadian juga mengundang tema untuk merespon dengan cepat dan kecanggihan desain yang sangat canggih dan cepat.
Tema prangko yang menghadirkan tokoh-tokoh kendati sekarang masioh eksis, namun muncul pula postmo feletelia, yang tema prangko yang menuruti pasar dan kekinian. Tiba tiba secara mendunia muncul tema Hello Kitty, Tintin, Wonder Women, Superman, Ultraman dll. Belum lagi muncul prangko prisma yang sangat privasi sekali
Kini seorang filetelis sedang diuji, jika kekeh dan maladaptip, berarti tertinggal dengan kemajuan.
Kini muncul juga berbagai kelompok atau komunitas pecinta prangko secara maya, lalu muncul  komunitas posttcrossing, bahkan masih banyak lagi yang sifatnya sangat mendunia.
Saya secara pribadi tidak ingin lebih dari ranah kemajuan ini, dan saya menamakan sekaligus mendeklarasikan sendiri sebagai penganut POSTMO-FITELA sebuah terminologi yang saya buat sendiri. Inilah saya yang ingin berbeda tapi masih menghormati pada mereka yang juga berbeda. Salam semoga semuanya bahagia.        

Tuesday, April 3, 2018

Episteme selalu berbicara dihoti (mengapa) bukan hanya hoti (tentang apa)


Dalam berpikir episteme pengetahuan tidak hanya mengajarkan kita berpeikira sekedarnya, atau aladarnya.  Episteme mengajarkan kita untuk menghindari Claim of truth yang hanya sepihak tanpa membiarkan otak manusia bersetuhan langsung  luas dengan horizon tanpa batas.
     Farancis Bacon memperigatkan kita, tak boleh menjadi manusia picik hanya berada didalam gua yang sepi dan zone terseteril lingkungan, namun harus membuka diri dengan daya nalarnya. Francis mengingatkan jangan seperti “katak dalam tempurung”, hindari idola sesat yang membuat pikiran terpuruk, hanya menjadi obyek, tapi tak menjadi obyek yang sekaligus subyek. The Idols of Cave, demikian kata Bacon, sebuah idola yang membuat karya pikir manusia tergurus pada pembenaran diri dengan super ego yang amat kental. Ketika kita menuruti pikiran itu, maka kemapuan dalam memahami fakta lemah, pemahaman logika acap sesat (fallacy), lalu analisis kita tumpul, dan pada akhirnya kemampuan evaluasi menjadi runyam. Inilah solipsistik atau dalam frasa Jawa dikenal dengan  nggungu karepe dewe” lalu menganggap dirinya paling benar  “ nggugu benere dewe”.
Kita diharapakan untuk tidak tidah berpangku pada “tentang” yang dalam bahasa Yunani tertulis “hoti”, namun kita harus selalu menanyakan lebih dalam yakni “mengapa” atau dalam bahasa Yunani “dihoti”. Itulah harapan episteme untuk berpikir secara radikal dan holistik.     
Bepikir radikal itu sesungguhnya akan menguliti sebuah masalah sampai akar-akarnya, tidak sekedar “surface” (permukaan), gali sedalam dalamnya. Benar kita tidak hanya ‘Quod” yang dalam bahasa latin berarti hanya perkir terbatas pada “tentang” saja,  seharusnya lepas dari keterkungkungan  ke arah “propter quod” yakni pola pikir yang terus menerus mengawal menuju kedalaman. Holisitik menyeluruh yang sangat diharapkan dalam berpikir kita, tidak atomistik alia terkotak kecil.
Orang Jawa dengan pikiran sederhana sering berucap, “jembarna pikiranmu” (luaskan pikiranmu:Jawa), lalu masih diikuti sikap rendah hati (humble).
Kemudian untungnya apa dalam epistemologi menyarankan berpikir sedalam-dalamnya? Tentu mengarahkan kita tidak mudah dan sepat memvonis, dan jauh dari sifat berbicara tanpa fakta, atau menggunjing karena data yang kering. Di sinilah episte menjadi sebuah metoda pengetahun untuk meneropong segala permasalahan selalu tidak terburu-buru.    
   

Saturday, March 17, 2018

NILAI AKSIOLOGIS DI ERA ABUNDANCE

Memanfaatkan Era Abundance . (Opini pagi - djoko adi walujo).

Era abundance, semuanya menjadi berkelimpahan, data dan informasi lengkap beserta visualisasi yang jelita tersedia cuma cuma di dunia maya. Pada era abundance ini kita diberikan kesempatan memilah dan memilih untuk kepentingan kita. Kendali pilihan juga menentukan jati diri kita, karena era yang disebut sebagai era kelimpahan ini tak terbatas kualitas dan kuantita yang disediakan. Baik yang membawa nilai nilai kebahagiaan kadang juga membawa ikutan nilai negatif. Ketika kita Ingin belajar agama sudah tersedia, juga tersedia berbagai sumber pilihan yang serba esay use juga esay touch. Namun belajar negatif juga tiada batas yang dapat kita peroleh dengan sekali sentuh. Ingin menghadirkan visual artis cantik tanpa busana dan goyangan yang menggiurkan hanya tinggal mengarahkan jari jemari kita bisa memilihnya. Di sinilah manusia mendapat manfaat sekaligus bisa menggandeng mudharat. Bagi seorang pembelajar era ini menghadirkan perpustakaan besar dirumah kita, bahkan dapat dikatakan perpustakaan seluas pulau Kalimantan bisa berada di saku kita dan selalu mendampingi kita dimana saja. Sebuah era yang mampu memperpendek waktu, tapi juga memperpendek jarak. Kita bisa bertemu dengan sang maestro dunia, kita dapat mengenal dekat profesor yang tersohor karena citra akademisnya, dan kita juga bisa dekat ribuan dan dekapan ulama besar yang kita kagumi.  

Sejatinya kita adalah kontributor
Data yang berkelimpahan di dunia itu sejatinya adalah lapangan amal kita, karena sesungguhnya adalah seorang kontributor setiap, setiap hari kita memberikan data. Tulisan kita juga memadati pustaka besar dunia yang nir batas ini, foto kita, video kita  bahkan slide pembelajaran kita juga tersimpan di almari besar dunia ini jika kita titipkan di aplikasi gratis slide share. Slide yang kita kontribusikan ternyata mampu memberikan pencerahan, itulah yang dimaksud dengan slide kita beramal. Kemudian mesin  canggih dengan artifisial inteligen itu juga mencatat secara valid karya karya kita. Kadang saya harus bersimpuh syukur karena sebuah slide saya yang amat sangat sederhana telah dilihat sebanyak 15.776  orang. Padahal hanya sebuah slide yang menurut hitungan pribadi saya berkadar remeh temeh. 

Memasang nilai etika, estetika dan aksiologi
Ketika sadar sebagai kontributor sekaligus user sebaiknya kita harus masuk pada nilai nilai spiritual yang bagus. Memasang moralitas yang dalam, mengunggulkan nilai etika, bahkan mengharuskan kita untuk berada di wilayah aksiologis. Wilayah yang memberi makna kegunaan tapi berlandaskan pada etika. Modesty adakah sebuah keluhuran yang dicatatkan bahwa kesantunan itulah merupakan puncak sebagai pengguna. 
Tentu kita harus akui banyak WA kita yang banyak menyalin data lalu meneruskan ke WA kawan, dengan mudah mengambil data di dunia maya yang nir bayar. Kita telah menjadikan diri kita sebagai user yang hanya copy-paste. Kita bangga karena tersedia di wilayah maya. Gambar yang lucu hingga visual yang menggiurkan telah kita nikmat. Setiap hari jemari kita ikut dalam festival copy pasti, meminta mesin pencari untuk searching, lalu dalam sekejap terpoliferasi ke mana~mana. 

Jangan hanya menjadi user tapi jadilah maker 


Era ini memang menyenangkan kita karena semua tersedia, namun juga melemahkan kita karena kita dipaksa dan terpaksa hanya sebagai pengguna. Inilah yang dapat menumpulkan idea dan kreativita. Padahal manusia itu ternilai dari kreativitasnya dan moralitas idealnya. Manfaatkan era ini seharusnya difungsikan untuk menarik syaraf kreativitas kita, jadikan pematik dan pemicu lahirnya karya yang Original dan novelty.